Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Saya Minta Cerai, Suami Tuntut Hukuman Mati"

Kompas.com - 24/08/2012, 12:52 WIB

KOMPAS.com — Zara menikah karena cinta lebih dari satu dekade lalu di Timur Tengah. Keluarganya menentang pernikahan itu, tapi dia melawan. Setelah menikah, dia dan suaminya, bersama dua anak mereka, pindah ke Inggris untuk bekerja. Di Inggris, kata dia, suaminya mulai minum alkohol. Sang suami jadi kasar, bahkan pernah menempelkan pisau ke tenggorokannya guna mengancamnya.

Dia mengatakan, suami mulai memerkosanya. Hal itu memengaruhinya secara mental, membuat stres, dan memengaruhi hubungannya dan anak-anaknya. Zara tidak berani membicarakan masalah keluarganya kepada orang lain karena, "Saya dididik bahwa membicarakan hal yang menentang suamimu kepada orang lain di luar sana merupakan hal yang memalukan. Jadi, saya berjuang di antara budaya Timur dengan apa yang saya pelajari dan budaya Barat di mana saya seharusnya hidup bebas, setara, adil. Saya tahu itu sulit."

Zara bukan nama yang sebenarnya. Dia berbicara kepada CNN, sebagaimana dilaporkan jaringan media itu, Jumat (24/8/2012), dengan syarat identitas aslinya tak diungkap. Hal itu demi keselamatannya.

Selama pernikahannya, kata dia, kekerasan terus terjadi. Dia menunjukkan kepada CNN laporan kepada polisi yang akhirnya dia ajukan. Namun, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus itu, dan suaminya tidak pernah didakwa. Setelah kira-kira delapan tahun menjalani pernikahan, dia melarikan diri dan bertemu pria lain. Dia memutuskan untuk meminta cerai.

"Saya bilang kepadanya, saya ingin bercerai. Saya tidak ingin mengkhianati kamu. Hubungan ini sudah berantakan. Saya katakan, yang saya inginkan adalah hubungan dengan putra-putra saya."

Menurut dia, suaminya semula setuju, tetapi berkeras bahwa mereka harus kembali ke tempat asal mereka di Timur Tengah untuk menjelaskan rencana itu kepada keluarga mereka.

"Dia mengumpulkan semua keluarganya di rumahnya. Saya terkejut saat melihat 60 atau 70 orang di rumahnya. Ibunya memanggil saya dengan panggilan yang sangat kasar. Dia menyebut saya seorang pelacur di depan anak-anak saya. Saya ingat ketika ibu mertua saya menatap wajah saya dan menggendong anak-anak saya dengan tangannya, tangan yang besar. Dia bilang, 'Anak saya seorang dokter. Kamu seharusnya berpikir. Kamu siapa sehingga mau mengkhianati putra saya. Siapa kamu?' Setelah itu, dia bilang kepada saya, 'Saya akan merawat mereka, kamu tak pantas jadi seorang ibu.' Anak-anak menatap saya," kata Zara.

Suami Zara kemudian menuntut hukuman mati terhadap dirinya. Suaminya lalu memanggil ayah Zara yang tinggal di kota yang berdekatan. Sang suami menuntut Zara harus dibunuh karena tidak menghormati keluarganya—sebuah pembunuhan demi "kehormatan" keluarga.

"Dia mengatakan kepada ayah saya, jika kamu seorang pria, bersihkan dirimu dari rasa malu. Jika kamu seorang pria, bunuh putrimu."

Adiknya memperingatkan Zara untuk tidak kembali ke rumah. Namun, dia menelepon ayahnya untuk mendengar suaranya kali terakhir. "Dia bilang kepada saya, 'Saya merindukanmu, saya ingin bertemu denganmu'. Dia tidak memberi tahu saya apa yang dia dengar dari suami saya (tentang tuntutan kematian atas saya) karena dia (ayah) tahu saya akan lari. Saya takut. Dia bilang, 'Datang, saya ingin melindungimu'."

Zara sudah siap untuk meninggalkan negerinya di Timur Tengah. Namun, dia memutuskan untuk melihat ayahnya untuk kali terakhir, meskipun dia tahu itu mungkin perangkap. Dia setengah berharap, kata Zara, sebaiknya dia mati saja. "Saya merasa tak berguna. Laksana sampah! Saya ingin mati. Saya ingin menghilang karena saya tidak ingin ayah saya, atau kakak saya, atau sepupu saya membunuh saya. Anak-anak saya akan menanggung malu karena saya. Ayah saya mengatakan kepada ibu saya, 'Masalahnya, saya tahu, dia tidak membohongi suaminya. Masalahnya adalah dia membuat kita malu, rasa malu yang bahkan tidak dapat dibersihkan oleh darah. Saya tahu dia tak bersalah. Tapi kita tidak bisa membersihkan rasa malu ini."

Berhadapan dengan pilihan sulit itu, Zara mengatakan, ayahnya menyadari bahwa dia tidak punya pilihan.

"Ayah saya menyuruh saya pergi karena dia tahu, saya akan dibunuh oleh paman saya atau para sepupu saya. Tak ada pilihan lain. Dia tidak ingin menyingkirkan saya. Tapi, dia ingin menyingkirkan rasa malu itu... yang telah saya timbulkan bagi keluarga saya karena kebodohan saya terhadap suami saya bahwa saya mencintai pria lain. Itulah kejahatan saya."

Maka dari itu, ayah Zara menyingkirkan dia dari negeri mereka di Timur Tengah dan mengirimnya kembali ke Inggris. Sementara itu, suami Zara mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Syariah di kampung halaman mereka di Timur Tengah. Itu berarti Zara dipisahkan dari anak-anaknya tanpa sepengetahuan atau persetujuannya.

Banyak dari kisah Zara sulit diverifikasi dengan mantan suaminya. CNN melaporkan telah melihat dokumen pengadilan dan aplikasi suaka Zara, tetapi petugas yang menangani kasus Zara dari lembaga bantuan Inggris mengatakan, jaringan berita itu tidak dapat meminta tanggapan dari suaminya karena takut hal itu dapat memicu reaksi kekerasan.

Zara belum kembali ke Timur Tengah sejak meninggalkan daerah itu lima tahun lalu. Saat dia pergi, saudarinya menulis kepadanya untuk tidak pernah kembali. "Kembali akan menjadi kuburanmu," tulis saudarinya.

Zara kini mendapat tempat tinggal di Inggris. Kedua anaknya sekarang remaja. Ketika dia kali terakhir berbicara dengan mereka, katanya, mereka bilang kepadanya bahwa mereka tak ingin ada lagi kontak dengan dia. "Mereka tidak ingin mendengar suaraku. Sangat menyakitkan mendengar hal itu. Saya merasa seperti bercerai dua kali: dari suami dan anak-anak saya. Saya tidak marah terhadap mereka. Tapi saya lelah dengan budaya dan agama. Saya lelah menjadi seorang perempuan. Saya sungguh lelah menjadi seorang ibu."

Ketika ditanya apakah dia yakin akan melihat anak-anaknya lagi, dia menjawab, "Saya melahirkan anak-anak saya dan saya seorang ibu. Saya tidak akan menyerahkan hak saya sebagai seorang ibu. Saya akan berjuang sampai akhir. Mereka akan bangga pada saya, dan saya akan bangga terhadap mereka. Saya yakin tentang hal ini."

Zara mengatakan, dia tidak membenci suami atau para kerabatnya, meskipun dia masih takut bahwa mereka mungkin akan membunuhnya karena telah membuat malu keluarga. Dia melihat mereka semua sebagai korban—sama seperti dia—dari sebuah tradisi yang brutal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com