Konstitusi itu di antaranya akan menentukan sistem kenegaraan baru di Mesir pascarevolusi: wewenang presiden, perdana menteri, hubungan agama-negara, dan hubungan negara-masyarakat.
Dewan konstituante beranggotakan 100 tokoh publik, anggota DPR, dan perwakilan lembaga dengan segala latar belakang politik, agama, dan profesi. Di antara tokoh menonjol yang masuk sebagai anggota dewan konstituante adalah tiga mantan kandidat presiden, yakni Amr Moussa, Abdul Munim Abul Futuh, dan Hamdin Sabahi.
Wartawan Kompas
Isu pembentukan dewan konstituante sebelum ini selalu memicu ketegangan politik di Mesir. Kubu nasionalis/liberal sering menuduh kubu islamis—melalui lembaga parlemen yang dikuasainya—ingin mendominasi keanggotaan dewan konstituante, dan kemudian menyusun konstitusi yang lebih islamis.
Bulan lalu, parlemen (DPR/ MPR) berhasil membentuk dewan konstituante. Namun, kubu nasionalis/liberal memprotes keras pembentukan dewan yang dinilai sangat islamis dan proses pembentukannya kurang transparan. Mahkamah Tinggi Konstitusi lalu memutuskan pembentukan dewan itu tak sah karena melanggar sejumlah aturan.
Dewan Agung Militer (SCAF) pekan lalu akhirnya menggelar pertemuan darurat dengan berbagai kekuatan politik untuk membahas prosedur baru perekrutan anggota dewan konstituante itu. Dalam pertemuan itu disepakati kriteria dan prosedur perekrutan anggota dewan sehingga pada Selasa malam lalu berhasil dipilih 100 anggota dewan konstituante.
Meskipun telah berhasil membentuk dewan konstituante, Mesir masih menghadapi isu krusial lain. Hal itu adalah uji materi oleh Mahkamah Tinggi Konstitusi terhadap
undang-undang isolasi politik yang disahkan parlemen dan UU pemilu parlemen.