Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/04/2012, 07:57 WIB
Oleh: Trias Kuncahyono


Semua bermula di Deraa (Dar’a), sebuah kota yang terletak 100 kilometer barat daya Damaskus, dekat perbatasan Jordania. Di kota yang dilintasi jalan bebas hambatan yang menghubungkan Damaskus-Amman itu, hari Jumat, 18 Maret tahun lalu, pecah demonstrasi damai.

Penduduk kota itu menuntut pembebasan 14 murid sekolah yang ditahan dan kabarnya disiksa aparat keamanan. Mereka ditahan karena mencorat-coret dinding sekolah dengan slogan yang sangat populer saat pergolakan di Tunisia dan Mesir: ”Rakyat menginginkan jatuhnya rezim yang berkuasa”.

Para demonstran ketika itu juga menuntut diberi demokrasi dan kebebasan yang lebih besar. Tetapi, mereka tidak menyebut agar Presiden Bashar al-Assad mundur. Tak disangka, demonstrasi damai itu menjadi cikal bakal demonstrasi melawan rezim yang berkuasa di banyak kota di seluruh negeri. Misalnya di Baniyas, Homs, Hama, Allepo, dan kota-kota pinggiran Damaskus. Tuntutan itu dijawab pemerintah dengan menggunakan kekuatan militer karena Damaskus berpendapat aksi itu dilakukan oleh geng-geng dan kelompok teroris.

Hanya dalam tempo dua bulan, pertengahan Mei, korban tewas mencapai 1.000 orang. Tewasnya begitu banyak orang itu menjadi bahan bakar yang semakin mengobarkan gerakan perlawanan. Pemerintah Damaskus pun semakin membabi buta menggilas perlawanan rakyat itu. Hasilnya: menurut PBB lebih dari 8.000 orang tewas dibunuh tentara dan paling kurang 14.000 orang ditahan. (Tetapi, Februari lalu, Pemerintah Suriah menyatakan jumlah korban tewas ”hanya” 3.838 orang: 2.493 sipil dan 1.345 tentara). Lebih dari 200.000 orang mengungsi: 80.000 orang ke Jordania, 10.000 orang ke Turki, 118.000 orang ke Lebanon, dan lainnya berserakan di Suriah sendiri (Foreign Affairs, 20/3).

Apa yang terjadi sekarang seakan mengulang peristiwa 30 tahun silam. Pada Februari 1982, Presiden Hafez al-Assad menumpas pemberontakan di Hama dan menewaskan 10.000 orang (ada yang menyebut antara 20.000 dan 30.000 orang!). Bedanya, kini perlawanan bermula dari protes damai penduduk kota; di zaman Hafez al-Assad dulu aksi militer dimulai dengan pembunuhan terhadap orang-orang penting yang berseberangan dengannya. Salah satunya, pembunuhan terhadap 83 kadet perwira Alawi di Sekolah Artileri Aleppo, Juni 1979.

Setelah menumpas pergolakan di Hama, Hafez al-Assad berkuasa hampir 30 tahun (meninggal 10 Juni 2000). Apakah Bashar juga akan seperti ayahnya, setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat dengan kekuatan militer penuh akan berkuasa begitu lama? Tetapi, seperti apa akhir pergolakan di Suriah saat ini? Belum jelas.

Hari ini, Pemerintah Suriah berjanji menarik pasukan dan senjata berat seperti tank dari kota-kota dan desa-desa yang menjadi pusat konflik. Setelah itu, diikuti gencatan senjata selama 48 jam dan disusul—pukul 06.00 tanggal 12 April— penghentian semua bentuk kekejaman oleh semua pihak: pemerintah dan kelompok perlawanan. Tahap selanjutnya, semua pihak duduk mencari penyelesaian politik.

Janji Pemerintah Suriah itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Moualem dan dikirimkan kepada mantan Sekjen PBB Kofi Annan beberapa waktu lalu. Akankah janji itu digenapi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com