Kairo, Kompas
Otoritas Suriah, Minggu (26/2), menggelar referendum atas konstitusi baru. Ini diboikot kubu oposisi dan ditolak masyarakat internasional. Akan tetapi, dicanangkan sebanyak 14 juta rakyat Suriah memberikan suara dalam referendum itu.
Penyelenggaraan referendum itu berlangsung di tengah serangan pasukan Pemerintah Suriah di berbagai kota oposisi. Komite koordinasi revolusi tingkat lokal (oposisi) menyerukan rakyat memboikot referendum dan melakukan mogok kerja di seluruh wilayah Suriah saat referendum. Komite tersebut menyebut, otoritas Suriah ingin menutupi tindakan kriminalnya melalui referendum.
Referendum ini bertujuan menanyai pendapat rakyat soal kelangsungan pemerintahan Assad.
Otoritas Suriah juga menyinggung konferensi para sahabat Suriah yang sudah berlangsung di Tunisia, Jumat (24/2). Suriah menuduh ini adalah konspirasi terhadap Suriah. Menteri Penerangan Suriah Adnan Mahmud mengatakan, konferensi itu merupakan konferensi para sahabat Washington dan musuh rakyat Suriah. Ia mengecam negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi dan Qatar, karena terlibat.
Mahmud mengatakan, mereka yang memiliki rencana tertentu terhadap Suriah, seperti AS, Arab Saudi, Qatar, dan Turki, kini dihinggapi rasa kecewa dan kemudian menggelar konferensi untuk menutupi kegagalan di DK PBB. Rusia dan China menolak tekanan Barat pada Suriah.
Menlu Turki Ahmet Davutoglu menawarkan Istanbul sebagai tuan rumah konferensi para sahabat Suriah yang kedua kelak. Dijadwalkan, konferensi para sahabat Suriah kedua digelar bulan depan. Menurut Davutoglu, jika bisa melaksanakan sebagian dari rekomendasi konferensi para sahabat Suriah di Tunisia, hal itu merupakan permulaan baik.
Rancangan konstitusi baru, yang harus disetujui rakyat melalui referendum, akan menggantikan konstitusi tahun 1973 yang berlaku di Suriah selama ini. Rancangan konstitusi baru itu menegaskan untuk mengakhiri hegemoni partai sosialis Baath di Suriah, yang sudah berkuasa selama 50 tahun terakhir.
Rancangan itu juga meminta Suriah menerapkan sistem multipartai. Namun, dalam rancangan konstitusi itu, presiden mendatang tetap memiliki otoritas luas dengan wewenang menunjuk perdana menteri dan anggota kabinet. Dalam rancangan konstitusi itu ditegaskan, presiden hanya bisa dipilih dua periode dan setiap periode berlangsung selama tujuh tahun.