Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Paham Valentine

Kompas.com - 19/02/2012, 05:09 WIB

Oleh Jean Couteau

Pada waktu Valentine Day, beberapa hari yang lalu, saya kesal. Ngapain memasukkan konsep cinta ala Barat ini, lengkap dengan kartu dan kadonya, di benak anak muda negeri ini. Untuk saya pribadi, cinta ala Valentine, masih okay, atau tepatnya terlambat. Mitos cinta ”tunggal” sudah menjadi bagian dari jati diri bule seperti saya, dengan rentetan masalahnya: dirongrong hasrat bunuh diri secara dramatis dan literer, seperti Werther dan Romeo. Bagi saya, cinta ala Indonesia lebih stabil. Ia berfungsi menghasilkan generasi penerus bangsa, berikut cucu bagi ibu mertua, yaitu kesenangan orangtua dan calon besan tak kurang penting daripada pasangan calon mempelai.

Pikir-pikir, Barat dan Timur memang berbeda total. Perbedaan itu terpatri dalam gen kita, gen Barat dan gen Timur. Orang Barat adalah orang gemar materi nan rasional. Orang Timur adalah orang spiritual-religius nan intuitif. Jelas dan sederhana. Apa pun yang dikatakan segelintir orang yang kawin campur (termasuk saya), perbedaan Barat Timur ada dan senantiasa akan ada, termasuk di dalam hal cinta.

Soal kesetiaan misalnya. Untuk orang Barat, kesetiaan adalah sesuatu yang esensial, sedemikian esensial sehingga dapat melampaui hal-hal yang jasmani. Bagi yang bersangkutan yang penting ialah tetap setia secara kejiwaan dan tetap cocok dari sudut nalar dan gaya hidup material. Kesetiaan fisik tidak perlu dirisaukan! Misalnya ketika Dominique Strauss-Kahn, Ketua IMF (International Monetary Fund) yang calon presiden Perancis itu, tertangkap (hampir) basah karena perbuatan tidak senonoh di sebuah kamar hotel Sofitel di New York, peristiwa itu tidak dipermasalahkan oleh istrinya. Dia ngotot bahwa suaminya hanya tersangkut peristiwa seksual yang consensual, yaitu yang dilakukannya ialah atas dasar hak individu, sesuai nilai-nilai luhur peradaban Barat. Buktinya pasangan suami-istri tetap dapat dilihat petantang-petenteng di kafe-kafe chic Paris dan New York. Konsep kesetiaan memang sangat luas di Eropa sehingga malah kehilangan maknanya.

Sejatinya Indonesia tak kalah menarik. Memang ada orang yang bilang bahwa kesetiaan pria tak mungkin dijaga. ”Boleh makan sate,” para istri lazim berkata, ”tetapi jangan bawa kambing pulang.” Cuma saya tidak percaya itu, oleh karena orang Timur spiritual, kan? Jadi kesetiaan pun bersifat spiritual. Buktinya terlihat di dalam ungkapan bahasa, yang sejatinya sangat ”halus”: berhubungan dengan istri disebut ”memberikan nafkah batin”, yang terjemahannya ”to give spiritual nourishment/support”. Sublim, kan?

Tetapi perbedaan tidak berhenti di sini. Di Barat dan di Timur, tubuh ditanggapi dengan cara yang berbeda, dan hal ini hendaknya disadari oleh kaum Valentine Indonesia, apalagi kalau mereka ingin kawin campur dan tidak mau kalah secara ”kultural”. Konsep kiss, atau cium, total berbeda. Orang Barat kasar, dan karena hidungnya yang terlalu menjorok agak mengganggu. Berbeda dengan orang Indonesia. Hidungnya lebih kecil mungil, bahkan rada pesek, dan, karena itu, lebih halus gerakannya.

Saya teringat suatu anekdot yang memperlihatkan betapa saya, si bule ini, ”bodoh” membayangkan bahwa cinta ala Barat dan cinta ala Indonesia adalah sama. Pada waktu itu, masih pengantin baru, saya hendak menjemput istri yang pulang dari ”tugas belajar” di Australia. Agar romantis penjemputan saya, saya ingin membelikan sekuntum mawar. Tetapi di toko yang saya datangi, yang dijual hanya lusinan. Jadi saya membeli selusin, lalu mengambil satu, yang lainnya saya buang di kursi belakang mobil. Lalu saya menunggu di pintu keluar, mawar tunggal itu di tangan. Ketika keluar istri saya mengambil mawar dan langsung ke mobil. Saya merana. Saat membuka pintu, dia melihat bunga-bunga berserakan, lalu berkata sinis: ”Mengapa kau tidak memberikan bunga-bunga itu pada saya?”

Ya, cinta Barat, cinta Timur memang berbeda! Tetapi bukankah layaknya bahasa: bila mempelajari bahasa asing, bukankah kita dapat belajar mengenal tata bahasa, kosakata, dan bahkan rasa bahasanya? Bukankah, bila sampai di situ, hilanglah prasangka kita? Maka mengapa tidak mencoba menghilangkan prasangka itu bahkan sebelum mempelajari bahasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com