Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dana Adaptasi Kecil

Kompas.com - 25/11/2011, 02:27 WIB

Jakarta, Kompas - Delegasi Republik Indonesia terus mendukung hal adaptasi pada Konferensi Perubahan Iklim. Namun, pemerintah dinilai tak serius mengarusutamakan adaptasi perubahan iklim karena alokasi anggaran negara kecil. Di sisi lain, pengelolaan dana perubahan iklim juga tidak jelas.

Demikian mengemuka pada pengarahan media jelang Pertemuan Para Pihak Ke-17 (COP-17)/Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto Ke-7 (CMP) yang diprakarsai Forum Masyarakat Sipil (CSF), Kamis (24/11), di Jakarta. Sebagai pembicara, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim Ari Muhammad, Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Teguh Surya, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik, dan Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokratik Ekonomika.

Pada paparannya, Ari menegaskan, Indonesia akan mengarusutamakan isu adaptasi pada COP-17/CMP-7 di Durban, 28 November-11 Desember 2011.

Indonesia, lanjut dia, mengusulkan pendanaan adaptasi bagi negara-negara berkembang yang memiliki wilayah dengan kerentanan tertinggi.

Riza mempertanyakan, apakah Indonesia akan benar-benar membawakan kepentingan Indonesia sebagai negara yang rentan dampak perubahan iklim. ”Indonesia tidak serius karena anggaran adaptasi di kementerian sektoral hanya 2 persen hingga 10 persen anggarannya. Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari anggaran Rp 2 triliun, hanya Rp 500 miliar untuk adaptasi berupa pembangunan perkampungan nelayan,” ujarnya.

Indonesia juga belum mempunyai Rencana Aksi Nasional Adaptasi. Padahal, ada RAN mitigasi. ”Pada kebijakan anggaran, dana adaptasi ternyata digunakan untuk insentif para importir teknologi bersih,” katanya.

Sektor kehutanan

Sementara itu, Teguh menyoroti upaya menekan dampak perubahan iklim. Upaya mendapatkan dana perubahan iklim di forum global tidak diikuti praktik serius di lapangan.

”April, keluar inpres tentang moratorium, tetapi sesudahnya justru banyak izin prinsip diterbitkan. Total luasannya 9,84 juta hektar (ha),” ujar Teguh. Semua izin prinsip di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi tersebut diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan.

Sementara, Hendro dalam paparannya menegaskan, semua perundingan perubahan iklim itu hanya omong kosong. Pasalnya, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, serta China, sekarang justru sibuk mengeruk sumber daya alam dari negara-negara berkembang yang berakibat semakin meningkatnya emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. (ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com