Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Quo Vadis" Revolusi di Suriah?

Kompas.com - 21/11/2011, 02:26 WIB

Zuhairi Misrawi

Jika revolusi di Libya memerlukan waktu enam bulan untuk menjatuhkan rezim Khadafy, revolusi di Suriah memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah memasuki bulan kesembilan, belum ada tanda-tanda kejatuhan rezim Bashar al-Assad.

Sebaliknya, justru rezim yang berkuasa makin brutal dalam menghadapi para demonstran. PBB merilis jumlah demonstran yang tewas di Suriah selama berlangsungnya revolusi lebih dari 3.500 orang. Bahkan, menurut data aktivis HAM di Suriah, jumlah korban yang tewas mencapai 5.000 orang. Kematian Mashaal Tamoo, oposisi asal suku Kurdi, semakin meningkatkan perlawanan untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad.

Jatuhnya korban dalam jumlah besar tersebut terkait respons dunia internasional yang lamban dalam menyikapi Bashar al-Assad. Negara-negara Arab juga terlihat sangat hati-hati bersikap karena Suriah didukung kekuatan lainnya di Timur Tengah, seperti Hizbullah (Lebanon), Hamas (Palestina), faksi Syiah (Irak), dan Iran. Di samping itu, veto Rusia dan China di PBB semakin menghambat arah revolusi.

Pasca-jatuhnya rezim Khadafy di Libya, tensi revolusi di Suriah mengalami eskalasi yang semakin masif. Menurut kalangan oposisi, jika rezim totaliter sekuat Khadafy bisa dijatuhkan, tidak ada alasan untuk tidak melengserkan Bashar al-Assad yang kekuatannya jauh di bawah Khadafy. Hanya saja, belajar dari Tunisia, Mesir, dan Libya, revolusi membutuhkan gerakan yang terorganisasi. Revolusi bukan wahyu yang tiba-tiba turun dari langit.

Dua alasan

Menurut Salwa Ismail (2011), ada dua faktor yang menjadi alasan kenapa rezim Bashar al-Assad harus dilengserkan. Pertama, faktor obyektif. Ketidakpercayaan publik terhadap rezim Bashar al-Assad meluas di sejumlah kota, antara lain Homs, Hama, Latakia, Aleppo, dan beberapa wilayah di Damaskus. Demonstrasi melibatkan sejumlah kelompok masyarakat, dokter, pengacara, dan kalangan profesional lainnya. Mereka yang semula mendorong agar dilakukan reformasi politik berubah menuntut Bashar al-Assad mundur dari jabatannya.

Sikap tersebut diambil karena rezim yang berkuasa dalam empat dekade terakhir itu tidak punya iktikad serius melakukan reformasi politik. Alih-alih melakukan reformasi, justru menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh para demonstran yang jumlahnya sudah mencapai ribuan akibat aksi brutal militer.

Kedua, faktor subyektif. Kepercayaan negara-negara Arab dan Barat terhadap rezim Bashar al-Assad kian defisit. Turki yang semula masih memberikan ruang negosiasi dengan Suriah, belakangan mendukung tuntutan rakyat Suriah untuk tegaknya demokrasi. Di samping itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah menegaskan sikapnya bersama tuntutan rakyat Suriah untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad. Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Mesir, dan Kuwait juga secara eksplisit meminta agar Bashar al-Assad menghentikan sejumlah tindakan biadab terhadap kalangan oposisi.

Kedua faktor tersebut merupakan modal sangat penting bagi kalangan oposisi untuk melengserkan rezim Bashar al-Assad. Menyusul protes keras Uni Eropa atas pelanggaran HAM berat, Uni Eropa juga sudah lama melakukan embargo minyak. Langkah tersebut akan mengakibatkan krisis ekonomi bagi Suriah mengingat minyak sebagai sumber pendapatan ekonomi yang sangat determinan. Embargo minyak akan memberikan pukulan telak bagi rezim yang berkuasa karena dapat menyebabkan krisis ekonomi yang serius di Suriah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com