KOMPAS.com - Leymah Gbowee kenyang pengalaman soal perang saudara di tanah airnya, Liberia. Lahir di Liberia tengah, pada usia 17 tahun, perempuan ini pindah ke ibu kota, Monrovia. Pemenang Nobel Perdamaian 2011 bersama Ellen Johnson Sirleaf dan Tawakel Karman ini menjadi saksi kekejaman perang saudara di Liberia.
Perang saudara di Liberia yang bahkan terus berlangsung hingga 2003, dalam pandangan Gbowee, memang cuma menyisakan kepiluan. Pengalamannya menjadi konselor trauma perang membuktikan begitu banyak anak kehilangan orangtua, istri kehilangan suami, dan kebinasaan sia-sia. Maka dari itulah, ia berupaya sekuat tenaga untuk membawa pengharapan kepada para korban berikut mengatakan "cukup" untuk perang.
Kepercayaan kuat Gbowee juga berangkat dari pengalamannya menjadi pekerja sosial pada 2002 di Aksi Perempuan Liberia untuk Perdamaian. Waktu itu, di sebuah pasar ikan, dia bersama perempuan-perempuan berdoa dan bernyanyi untuk perdamaian. "Kalau ada yang bisa mengubah kondisi di Liberia, orang itu adalah seorang ibu," katanya.
Gbowee makin mencuat namanya tatkala berhasil menggerakkan kaum perempuan menggunakan sikap antikekerasan untuk menuntaskan pertumpahan darah. Sukses melobi Presiden Liberia kala itu, Charles Taylor agar Liberia menjadi pelopor perdamaian, Gbowee bahkan bisa menjadi salah satu pembicara perdamaian di negara tetangga, Ghana.