Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Libya Pasca-Khadafy

Kompas.com - 24/08/2011, 03:27 WIB

Oleh Zuhairi Misrawi

Dunia menyaksikan, masuknya pasukan oposisi ke Tripoli menandakan berakhirnya rezim Khadafy. Tripoli bukan hanya menjadi jantung kota Libya, melainkan juga simbol kekuasaan Khadafy yang sudah berlangsung 40 tahun lebih.

Selama lebih kurang enam bulan, Dewan Transisi Nasional (NTC) yang bermarkas di Benghazi berhasil melumpuhkan kekuatan militer Khadafy dari satu kota ke kota lainnya hingga akhirnya menguasai Tripoli (19/8). Serentak, seluruh warga Libya merayakan pencapaian pasukan oposisi dengan gegap gempita. Mereka menganggapnya sebagai ”hari raya” yang dapat disejajarkan dengan peristiwa penaklukan oleh Muhammad SAW di Mekkah, yang dikenal dengan Fath Makkah. Bulan Ramadhan tak jadi penghalang bagi oposisi untuk menuntaskan misi revolusi melawan rezim tiran, Khadafy. Sebaliknya, Ramadhan dijadikan momentum dan spirit untuk meraih kemenangan. Tuhan pun memenuhi harapan mereka.

Dalam kancah internasional, masuknya pasukan oposisi ke Tripoli membuka jalan bagi munculnya pengakuan sejumlah negara terhadap legalitas NTC. Setelah Perancis, Inggris, Turki, Kuwait, dan Mesir, sejumlah negara lainnya mengakui NTC sebagai otoritas tertinggi di negara kaya minyak tersebut. Secara politik, pengakuan dari sejumlah negara membuktikan rezim Khadafy telah berakhir.

Adapun secara ekonomi, pengakuan tersebut amat bermakna karena NTC mendapatkan mandat untuk menerima sejumlah dana atas nama Khadafy dan keluarganya yang dibekukan oleh sejumlah negara Barat menyusul dikeluarkannya Resolusi PBB 1970. Konon, jumlah dana tersebut mencapai Rp 1.000 triliun.

Optimis

Maka dari itu, optimisme kalangan oposisi begitu besar tentang masa depan Libya pasca-Khadafy. Jika dibandingkan dengan Tunisia dan Mesir, Libya jauh lebih beruntung karena punya sumber daya alam melimpah, terutama minyak. Setelah enam bulan eksplorasi terhenti, mereka akan segera mengoperasikan kembali minyak setelah jatuhnya rezim Khadafy.

Di samping itu, jumlah penduduk Libya tak terlalu besar sehingga mereka dengan mudah dapat membangun konsensus dalam rangka pembangunan negeri mereka. Apalagi mereka tidak mempunyai problem ekonomi serius, sebagaimana dihadapi Tunisia dan Mesir. Libya mempunyai kesempatan menjadi negara kaya minyak pertama yang mampu menerapkan demokrasi. Jika eksperimentasi Libya berhasil, ini dapat menginspirasi negara-negara Teluk kaya minyak lainnya yang hingga detik ini menolak demokrasi.

Namun, di balik optimisme, masih terdapat sejumlah persoalan serius yang harus diselesaikan dalam waktu dekat dalam rangka memuluskan misi revolusi. Pertama, jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Libya. Langkah ini harus dijadikan prioritas oleh NTC dalam rangka memulihkan kembali kondisi yang tak menentu akibat kontak senjata antara pasukan Khadafy dan pasukan oposisi.

Jaminan keamanan akan menumbuhkan optimisme bagi mereka yang selama ini mengungsi di Italia, Mesir, Tunisia, dan Aljazair untuk secepatnya kembali ke tanah air mereka. Masalahnya, selama revolusi berlangsung, pasukan oposisi memegang persenjataan. Sementara itu, NTC tak punya data konkret tentang pihak-pihak yang selama ini memegang senjata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com