Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hama, Bapak, dan Anak

Kompas.com - 03/08/2011, 07:52 WIB
Oleh: TRIAS KUNCAHYONO

HAMA kembali berdarah. Sejarah kota ini, yang sudah ada sejak tahun 1100 SM, memang menceritakan pertumpahan darah. Hama yang dalam kisah lama disebut Hamath—berarti benteng—pernah menjadi ibu kota Kerajaan Kanaan. Dari waktu ke waktu, Hama selalu diperebutkan: pernah di tangan Romawi dan terakhir kali di tangan Ottoman. Setelah kekuasaan Ottoman berakhir pada tahun 1918, karena kalah dalam Perang Dunia I, Hama berada di bawah Mandat Perancis untuk Suriah. Kini, Hama menjadi bagian Suriah.

Namun, darah yang mengalir kali ini bukan karena tindakan kekuasaan asing, melainkan kekuasaan dalam negeri. Peristiwa pertama terjadi tiga dasawarsa silam, di zaman Presiden Hafez al-Assad. Meski peristiwa itu sudah lama, tetapi belum hilang dari ingatan Umm Yasseen (62), karena anak lelakinya yang baru berusia belasan tahun ditembak persis di depannya.

”Saya menjerit sekuat tenaga melihat anak saya ditembak. Seorang tentara pemerintah segera memegang bahu saya dan mengatakan, ’Anakmu penjahat. Ia bunuh diri,’” kata Yasseen mengenang tragedi 2 Februari 1982, seperti dikutip kantor berita Reuters, Kamis (7/7).

Hafez al-Assad menggempur Hama, menumpas pemberontakan kelompok Persaudaraan Muslim, Sunni. Sejak berkuasa Hafez al-Assad didukung oleh sekte Alawi, Syiah, yang merupakan kelompok minoritas, 12 persen dari jumlah penduduk (sekitar 22 juta) Suriah.

Serangan dipimpin adik kandungnya, Rifaat al-Assad. Ribuan orang dibunuh. Mingguan The Economist menyodorkan angka 30.000 orang. Robert Fisk, seorang penulis sekaligus wartawan asal Inggris dalam Independent.co.uk (16/9/2010), menyebut korban 20.000 orang. Sementara itu, Komite Hak Asasi Manusia Suriah memberikan angka lebih tinggi, yakni 30.000-40.000 orang. Karena itu. Komite HAM Suriah menyebutnya sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hari Minggu lalu, Presiden Bashar al-Assad mengikuti jejak ayahnya, Hafez al-Assad. Ia mengirim tentara juga dengan tank di bawah pimpinan saudaranya, Maher al-Assad, menggempur Hama, kota berpenduduk 700.000 orang. Jumlah korban tewas memang tidak sebanyak tahun 1982—menurut berita mencapai 74 orang (bila ditambah dengan korban tewas di kota-kota lain pada hari yang sama mencapai 140 orang)—tetapi mereka tetaplah manusia.

Gempuran militer ini merupakan usaha pemerintah Damaskus meredam protes rakyat yang menuntut perubahan politik. Sejak pergolakan pecah pada 15 Maret lalu, diperkirakan korban tewas 1.634 orang, sebanyak 2.918 orang dinyatakan hilang, dan sekitar 26.000 orang ditahan.

Rakyat protes karena, menurut Foreign Affairs (25/5), korupsi yang dilakukan rezim yang berkuasa sudah keterlaluan. Karena itu, rakyat menuntut perubahan: cabut undang-undang darurat yang sudah diterapkan sejak 48 tahun silam (sudah dicabut) dan menuntut pembubaran pemerintahan (sudah dikabulkan). Namun, tindakan itu dianggap tidak serius. Sebab, setelah mencabut undang-undang darurat, pemerintah berencana memperkenalkan undang-undang antiterorisme yang sama dengan undang-undang darurat.

Tuntutan akan perubahan terus bergema. Apakah jatuhnya korban jiwa akan memperlemah kekuasaan Bashar al-Assad? Ini akan sangat tergantung apakah sekte Alawi dan tentara masih tetap mendukungnya. Bila sekte Alawi meninggalkannya (mendapat jaminan keamanan dari kelompok oposisi demokratik) dan bergabung dengan oposisi-demokratik ditambah makin banyaknya tentara yang memiliki hati nurani, rasa kemanusiaan, posisi Bashar akan terancam.

Pilihan lainnya adalah membiarkan perang saudara. Berarti, korban nyawa sebagai tumbal kekuasaan akan makin banyak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com