Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istri Taat Suami

Kompas.com - 03/07/2011, 05:05 WIB

 KRISTI POERWANDARI 

”Berdosakah bila saya tidak mampu memenuhi tuntutan suami? Mengapa istri saja yang dituntut untuk membahagiakan suami? Bagaimana dengan kewajiban suami membahagiakan istri?”

Keluhan dari seorang istri yang sangat tertekan yang dikutip di atas barangkali akan makin banyak disuarakan, entah dengan terbuka ataupun diam-diam, bila masyarakat menelan mentah-mentah ”klaim” ajaran agama yang disuarakan kelompok tertentu tentang bagaimana menjaga keharmonisan keluarga.

Ada yang yakin, ketaatan penuh istri kepada suami dapat mengobati berbagai persoalan sosial. Istri tidak boleh sekadar terampil memasak dan menjadi ibu yang baik, tetapi juga ”patuh” dan ”memberi layanan penuh” kepada suami. 

Memprihatinkan bahwa tuntutan kepatuhan total istri tersebut justru akhir-akhir ini disuarakan oleh kelompok perempuan sendiri. Dalam konseling psikologi, saya sering menemui perempuan-perempuan yang sangat tertekan dalam perkawinannya karena sudah sangat sibuk mencari uang akibat suami tidak mau atau tidak mampu bertanggung jawab, masih teraniaya karena suami marah besar akibat baju yang dicucinya ”kurang bersih” atau makanan yang disajikan kurang sesuai dengan selera suami. Cukup sering pula situasi diperburuk oleh bagaimana perempuan lain (misalnya ibu mertua atau perempuan yang lebih punya otoritas) ikut melakukan penekanannya.

Bekerja jauh 

Teman saya melakukan penelitian pada perempuan buruh migran, bertanya mengapa mereka bersedia bekerja sangat jauh dengan berbagai risiko. Sebenarnya merekalah breadwinner, tetapi banyak perempuan disosialisasi untuk ”merendahkan diri” di depan suami, jadi hanya bilang, ”Untuk bantu-bantu suami mencari nafkah.”

Jangankan diakui perannya sebagai pencari nafkah utama, cukup sering mereka dipersalahkan, ”Kok tega-teganya meninggalkan suami.”

Sangat mengherankan bila istri harus bekerja jauh, berisiko teraniaya, dipenjara, bahkan kehilangan nyawa, sementara suami tidak bekerja dan mungkin berpoligami, masih dilayangkan berbagai kritik, penyalahan, dan tuntutan-tuntutan terhadap perempuan. Kenyataannya, anak-anak sudah lahir dari perkawinan yang dijalani. Ibu yang bertanggung jawab tidak akan tinggal diam saja: anak-anak akan makan apa bila bapak-ibunya tidak bekerja? 

Dalam nasihat perkawinan masih sering kita mendengar tuntutan ketaatan satu arah dari istri kepada suami. Mengingat masyarakat Indonesia sangat agamais, ajaran agama menjadi sangat terinternalisasi. Perempuan sangat takut akan berdosa bila tidak mematuhinya meski harus merasakan konflik batin dan beban yang besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com