Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TKI Harus Kompak Minta Gaji Minimal

Kompas.com - 12/06/2011, 18:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta atau PPTKIS harus kompak tidak menempatkan pekerja rumah tangga ke Malaysia jika pengguna jasa menolak menggaji sedikitnya 600 ringgit per bulan. Demikian disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Jakarta, Minggu (12/6/2011).

Pemerintah terus menyosialisasikan isi nota kesepakatan perlindungan TKI pekerja rumah tangga di Malaysia kepada pemangku kepentingan. Menakertrans menandatangani MOU perlindungan TKI pekerja rumah tangga dengan Menteri Sumber Manusia Malaysia S Subhramaniam di Bandung, Jawa Barat, Senin (30/5/2011), yang mengatur paspor dipegang pemilik, libur sehari dalam seminggu, dan gaji serta biaya penempatan mengikuti mekanisme pasar.

Pemerintah Malaysia menolak mematok gaji awal pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia karena memang tidak memiliki regulasi yang mengatur upah minimum. Oleh karena itu, standar upah awal TKI PRT diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun, bukan berarti pekerja asal Indonesia tidak bisa punay daya tawar.

"Jika pihak pengguna jasa di Malaysia enggan menggaji TKI PRT kurang dari 600 ringgit (Rp 1,7 juta) per bulan, PPTKIS harus kompak tidak menempatkan. Semua pihak baik pemerintah maupun swasta sama-sama wajib mengawasi dan memonitor penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri termasuk standar gaji mereka," ujar Menakertrans.

Indonesia menempatkan sedikitnya 2,2 juta TKI di Malaysia dengan satu juta orang di antaranya tidak berdokumen resmi bekerja di sana. Sebagian b esar bekerja di sektor informal antara lain pekerja rumah tangga, sopir, buruh konstruksi, dan buruh perkebunan.

Muhaimin meminta kalangan PPTKIS membenahi manajemen dan pusat data penempatan sambil menunggu pencabutan moratorium penempatan TKI PRT ke Malaysia sebagai konsekuensi penandatanganan MOU. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengundang sedikitnya 250 PPTKIS di Jakarta, Jumat (10/6/2011), mengenai isi MOU tersebut.

PPTKIS harus mengoptimalkan proses perekrutan dengan memastikan pelaksanaan pelatihan kompetensi kerja sedikitnya 200 jam bagi calon TKI dan 100 jam bagi TKI berpengalaman. Pemeriksaan kesehatan juga menjadi faktor penting penempatan.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, organisasi nonpemerintah yang aktif membela hak buruh migran, Anis Hidayah dan aktivis Migrant Care di Malaysia Alex Ong, mengungkapkan kematian Isti Komariah, TKI PRT asal Banyuwangi, Jawa Timur, di Malaysia, sepekan setelah penandatanganan MOU.Isti diduga menjadi korban penganiayaan.

MOU semestinya menjadi instrumen perlindungan TKI PRT di Malaysia baik dari sisi pemenuhan hak normatif dan pengurangan kasus kekerasan yang menjadi persoalan krusial saat ini. Isti Komariah bekerja sejak Desember 2008 dan pada Minggu (5/6) dinyatakan meninggal di Pusat Perawatan Universitas Malaya (University Malaya Med ical Centre/UMMC).

Menurut Anis, hasil pemeriksaan awal menunjukkan bahwa ada bekas luka-luka memar baru dan lama di dahi, punggung, dan lengan. Tubuh korban kurus saat meninggal dunia.

Migrant Care menuntut Pemerintah Malaysia menjalankan proses hukum yang adil dan transparan atas majikan Isti Komariah dan memastikan keluarga almarhumah mendapatkan seluruh hak yang belum dibayar. Pemerintah Indonesia pun harus mengoptimalkan satuan tugas gabungan mengawasi implementasi MOU.

"Kami juga mendesak Pemerintah Indonesia dan Malaysia meratifikasi konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) tentang standar kerja layak bagi PRT yang baru saja disahkan di Geneva, Swiss," ujar Anis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com