Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudan Selatan Berpesta Menjelang Referendum

Kompas.com - 09/01/2011, 03:08 WIB

JUBA, Sabtu - Euforia menyergap warga di Sudan selatan menjelang pelaksanaan referendum yang berlangsung hari Minggu (9/1). Referendum ini berpotensi besar memisahkan Sudan bagian utara yang didominasi Muslim Arab serta bagian selatan yang didominasi kelompok Afrika dan non-Muslim.

Jika hal itu terjadi, Sudan akan terpecah dua, sekaligus mengakhiri konflik dua dekade yang menewaskan sekitar 2 juta warga dan menggusur jutaan warga lainnya dari kampung halaman mereka.

Sudan berpotensi pecah bukan hanya karena perbedaan agama dan etnis di kedua wilayah itu. Negara ini juga retak karena para elitenya terlibat dalam rebutan pengaruh dan kekayaan alam berupa minyak yang berada di wilayah selatan. Diduga kuat pihak asing juga turut mendorong perpecahan negara ini.

Masa kampanye telah berakhir pada Jumat lalu. Akan tetapi, poster-poster dari kelompok prokemerdekaan serta kibaran bendera berwarna hitam, merah, dan hijau menunjukkan antusiasme publik menyambut era baru.

Sudan selatan kini dipimpin pemerintahan yang memiliki otonomi luas sejak tahun 2005. Ini merupakan hasil kesepakatan damai antara pihak utara dan selatan pada tahun itu.

Para pemberontak dari selatan bermarkas di Juba, yang kemungkinan besar akan menjadi ibu kota jika Sudan selatan berhasil menjadi negara baru. Dengan demikian, Khartoum hanya menjadi ibu kota bagi Sudan utara.

Suasana pesta terlihat di Juba sejak Sabtu pagi, termasuk dengan pengadaan konser musik dan sebuah turnamen olahraga favorit di selatan, bola basket.

Sudan juga menjadi retak karena penguasa yang didominasi pihak utara menerapkan peraturan agama dan mengatur kehidupan sehari-hari warga di seantero negeri. ”Di sini Anda bisa minum, sedangkan di Khartoum hal itu diharamkan,” kata Santos, seorang warga di tepian White Nile di wilayah selatan.

Hukum syariah diterapkan di Sudan sejak tahun 1983. Konflik sektarian telah menghancurkan potensi salah satu negara terbesar di Afrika ini, yang merdeka dari Inggris pada tahun 1956.

Presiden meragukan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com