Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpolitik Luar Negeri Tanpa Postur

Kompas.com - 20/12/2010, 16:14 WIB

Oleh James Luhulima

Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Belanda pada tanggal 5 Oktober 2010 dapat dianggap sebagai bencana dalam politik luar negeri Indonesia.

Bagaimana tidak, sebagai seorang kepala negara yang mewakili 230 juta rakyat Indonesia yang memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, ia mengalah pada intimidasi yang dilakukan segelintir orang yang menamakan diri warga Republik Maluku Selatan (RMS).

Padahal, sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak pernah tunduk pada tekanan dari pihak mana pun, apalagi hanya pada segelintir anggota kelompok separatis yang hidup di pengasingan.

Tanggal 5 Oktober lalu Presiden dijadwalkan akan berkunjung ke Belanda untuk memenuhi undangan Ratu Beatrix dan Perdana Menteri Jan Peter Balkenende. Sedianya, Presiden akan lepas landas dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma dengan pesawat kepresidenan pada pukul 13.30, tetapi hingga pukul 14.00 Presiden belum memasuki pesawat. Sementara satu jam sebelum lepas landas, semua anggota rombongan, termasuk sejumlah menteri, sudah naik ke pesawat.

Sekitar pukul 14.30, Presiden memberikan keterangan di ruang VIP Bandara Halim Perdanakusuma tentang pembatalan kunjungannya. Sebagai alasan, Presiden mengemukakan, di Den Haag ada pengajuan tuntutan ke pengadilan yang mempersoalkan masalah hak asasi manusia di Indonesia, dan juga meminta pengadilan untuk menangkap Presiden pada saat ke Belanda. Tuntutan itu disebutkan diajukan oleh sejumlah warga negara Belanda dan organisasi, termasuk RMS.

Presiden Yudhoyono menggarisbawahi bahwa unjuk rasa yang diadakan saat seseorang kepala negara berkunjung ke suatu negara adalah hal yang biasa. Ancaman keamanan terhadap seorang kepala negara saat kunjungan ke suatu negara juga adalah risiko yang dipandang tak perlu menyurutkan langkah. Yang tidak dapat diterima, menurut Presiden, adalah ketika ia berkunjung ke Den Haag atas undangan Ratu dan PM Belanda, digelar sebuah pengadilan yang antara lain menuntut ditangkapnya Presiden RI.

Presiden menganggap digelarnya pengadilan itu sebagai sesuatu yang menyinggung harga diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Presiden memutuskan untuk menunda kunjungan ke Belanda hingga situasi dianggapnya kembali jernih. Presiden menyebutkan, tuntutan ke pengadilan yang berlatar politik itu berpotensi menimbulkan salah pengertian dan situasi psikologis yang tidak kondusif.

Dari alasan yang dikemukakan, tampak jelas bahwa Presiden Yudhoyono gagal memahami tiga hal penting. Pertama, ia adalah pemimpin negara yang besar, yang seharusnya tidak boleh tunduk kepada ulah segelintir orang yang menamakan diri anggota RMS, yang menggunakan pengadilan untuk mengintimidasi dirinya.

Kedua, kekuasaan pengadilan berada di luar kekuasaan pemerintah (eksekutif) sehingga Pemerintah Belanda tidak dapat mencampuri urusan pengadilan. Mengharapkan Pemerintah Belanda dapat mencampuri urusan pengadilan, dengan misalnya menunda persidangan selama Presiden berkunjung di sana, adalah suatu keniscayaan.

Ketiga, dengan membatalkan kunjungan itu, ia mengabaikan jaminan imunitas dan keselamatan atas dirinya yang diberikan Pemerintah Belanda. Jaminan imunitas dan keselamatan terhadap Presiden Yudhoyono juga dipertegas oleh PM Balkenende. Bukan itu saja, Pemerintah Belanda pun mengemukakan tidak mengakui keberadaan RMS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com