Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Damai Pesta Sepeda

Kompas.com - 11/10/2010, 15:13 WIB

Oleh AA KUNTO A

Macet tengah malam di Yogyakarta. Ada genangan massa di tengah kota. Ribuan sepeda tumplek blek di jalanan mengitari dan menuju Tugu. Media menulis angka sekitar 3.500 kereta angin meramaikan kegelapan 7 Oktober dini hari, merayakan Hari Jadi Ke-254 Kota Yogyakarta.

Apresiasi tinggi boleh kita acungkan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta, yang bersama wali kotanya, Herry Zudianto, terus mengajak warganya bersepeda lewat gerakan Sego Segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe). Warga kota dan sekitar rupanya menyam- but gagasan ini dengan antusias. Ada yang sungguh-sungguh beralih moda dari kendaraan bermotor ke sepeda, ada yang rutin bersepeda alam bersama komunitas setiap tengah dan akhir pekan, ada yang memancal pedal hanya jika ada acara sepeda gembira beriming-iming hadiah. Ada yang bersepeda untuk menyatakan kepedulian pada lingkungan, ada yang demi kesehatan, ada yang mejeng sebatas memenuhi hasrat tampil di muka umum. Ada yang sungguh-sungguh menjadi pesepeda, yang menempatkan bersepeda sebagai "profesi" layak- nya penerjun, ada yang sekadar menjadi pesepeda, yang meletakkan bersepeda sebagai aktivitas sesekali laiknya pengertian penerjun.

Beragam motif dan tujuan. Semua bersatu di Yogya. Biar saja setiap pengayuh sepeda hadir dengan keberagamannya. Yogya selalu terbuka menerima keberagaman macam ini seperti selama ini telah terjadi. Ini pesan luar biasa yang diusung ribuan sepeda itu.

Pembawa pesan Jauh hari sebelum kita sibuk dengan berbagai kampanye revitalisasi sepeda, berikut "jalur khusus sepeda", dan belakangan "ruang tunggu sepeda" di setiap lampu merah, kita pernah punya jalur sepeda. Tepatnya di Jakarta. Tepatnya lagi di ruas Harmoni-Kota, yang belakangan populer sebagai koridor I transjakarta. Dulu bikeway, kini busway. Wartawan Sindhunata, yang hobi bersepeda, dan kini tinggal di Yogya sebagai pastor penggiat kebudayaan, pernah menulis kisah ini di Kompas betapa tahun 1979 kala itu sepeda menjadi alat transportasi andalan warga Ibu Kota. Bikeway juga pernah ada di ruas Gambir-Harmoni pada tahun 1950-1960- an; sekali melaju bisa berjejer hingga enam sepeda. Saya bayangkan suasananya mirip Jalan Samas, Parangtritis, atau Imogiri, beberapa tahun lalu, sebelum "kredit tanpa uang muka" sepeda motor menyingkirkan sepeda dari jalurnya.

Ke belakang, kita juga pernah mengenal "sepeda pos". Sebelum keberadaannya di ujung tanduk terhempas teknologi internet, dan tergeser perusahaan-perusahaan ekspedisi modern, tahun 1950-an, PT Pos Indonesia pernah berada di hati rakyat Indonesia berkat sosok sepeda yang ditunggangi Pak Pos. Sejatinya, sepeda yang dipakai biasa saja. Mereknya Falter, buatan Jerman Barat, bukan Humber, Raleigh, Philips, Gazelle, dan Fongers, dan merek berkelas lainnya. Sebutan "sepeda pos" mencuat karena sepeda jenis ini jadi kendaraan resmi pegawai pos di Indonesia, selain juga di Eropa waktu itu. Sepeda sebagai pembawa pesan juga pernah jadi pembicaraan tahun 1999. Kala itu beredar film Jepang berjudul "The Messengers" karya sutradara Yasuo Baba. Skenario ditulis oleh Masashi Todayama. Film ini bercerita tentang kurir sepeda dalam persaingannya dengan kurir sepeda motor. Adalah Tokyo Express, dalam film itu, yang mempekerjakan kurir bersepeda. Perusahaan ini sedang berlomba mendapatkan kepercayaan dari Perusahaan Ataka untuk menjadi kurir tetap. Lawannya adalah kurir bersepeda motor. Naomi Shimizu, si kurir bersepeda, berhasil mengantarkan Tokyo Express ke proyek prestisiusnya. Kurir bersepeda bisa lebih cekatan dari kurir bersepeda motor.

Sebagai pesan

Dewasa ini, dalam wawasan saya, tidak ada lagi kurir bersepeda. Pak Pos telah lama tak bersepeda. Kurir kantor dan dinas pemerintah- swasta tak pula bersepeda. Yang ada hanya ojek sepeda di kawasan utara Jakarta. Di Yogya bahkan tukang batu dan petani pun tak lagi menggowes sepeda. Parkir sepeda menghilang dari halaman samping sekolah.

Apakah berarti sepeda tak lagi jadi kurir pesan? Masih. Dalam pengertian sekarang, sepeda bukan lagi pengusung pesan, namun sepeda itu sendirilah pesannya. Sego Segawe, B2W (Bike to Work), B2E (bike to eat; bersepeda untuk berburu tempat makan enak), Gowes Koprol (penyuka rute-rute menantang), contohnya, adalah pesan tentang kesehatan, kelestarian lingkungan, dan gaya hidup. Sepeda adalah juru kampanye habitus baru untuk kehidupan yang lebih manusiawi. Sepeda adalah penyadaran perubahan bahwa sebelum manusia menjadi fosil hidup gara-gara boros menggunakan bahan bakar fosil bumi, lebih baik kita "ngawil" sepeda.

Pesta ulang tahun tengah malam itu juga sebuah pesan yang begitu kuat. Ingatan kita masih basah, tentang bom sepeda yang meledak di Jakarta seminggu sebelumnya, 30 September pagi hari. Meski polisi belakangan menyebut pelaku tak tersangkut gerakan terorisme, kejadian itu sejatinya sudah sebuah teror. Sepeda jadi pembawa pesan kekerasan! Beberapa mailing list dipenuhi kekhawatiran para pesepeda jika kemudian mereka dicurigai sebagai pengantar kematian.

Nyatanya tidak. Bersepeda malam pun aman. Yogya membuktikan, sepeda bisa diutus menjadi pembawa pesan damai. Banyaknya orang muda yang bersepeda juga menyemai harapan masa depan udara kota yang lebih bersih.

Agar pesta tak padam nyalanya, kesadaran akan pentingnya bersepeda perlu terus dikibarkan. Mari kita rangkul pengelola perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah, rumah sakit, dan pengelola parkir di pinggir jalan untuk menyediakan tempat parkir sepeda. Selebihnya, membiasakan naik sepeda untuk mobilitas jarak dekat. Selamat ulang tahun Kota Sepedaku.

AA KUNTO A Penggowes Sepeda, Tinggal di Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com