Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Mendengar Pidato SBY

Kompas.com - 05/09/2010, 06:02 WIB

KOMPAS.com - Ketika mendengar pidato yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9), banyak kalangan yang kecewa. Selain agak terlambat, Presiden pun dianggap bersikap terlalu lembek terhadap Malaysia.

Dalam pidatonya, Presiden mengatakan, ia turut merasakan keprihatinan, kepedulian, bahkan emosi yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dan, apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang dan ke depan ini sesungguhnya juga cerminan dari keprihatinan kita.

Presiden, dalam kesempatan itu, juga mengajak masyarakat untuk menjauhi tindakan berlebihan, termasuk aksi kekerasan yang hanya akan menambah masalah yang ada.

Menurut Presiden, kedaulatan negara dan keutuhan wilayah adalah kepentingan nasional yang sangat vital. Ditekankan oleh Presiden bahwa pemerintah sangat memahami kepentingan itu dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjaga serta menegakkannya.

”Namun, tidak semua permasalahan yang muncul dalam hubungan dengan negara sahabat selalu terkait dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah,” ujarnya.

Presiden juga menyinggung banyak hal lain dalam pidatonya. Akan tetapi, apa pun alasan yang dikemukakan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya, pada intinya adalah ia menegaskan bahwa ia menempatkan hubungan baik dengan Malaysia sebagai hal yang penting.

Oleh karena itu, persoalan yang terjadi dengan Malaysia pada saat ini harus dijaga agar tidak sampai mengganggu hubungan baik kedua negara. Situasi yang hampir sama

Situasi yang dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat ini, hampir sama dengan apa yang dihadapi oleh Presiden Soeharto dengan Singapura pada tahun 1968 atau 42 tahun silam. Pada saat itu Singapura memutuskan akan menghukum mati dua personel Korps Komando (KKO), yakni Usman bin Moh Ali dan Harun bin Said, yang tertangkap di negara itu.

Berbagai kalangan di Indonesia, terutama KKO (kini Korps Marinir), langsung bereaksi dengan sangat keras. Namun, Presiden Soeharto langsung maju ke depan dan mengambil kendali.

Soeharto secara terbuka meminta kepada Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada kedua personel KKO itu. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Singapura. Menurut pemerintah negara pulau itu, kedua personel KKO tersebut melakukan kegiatan mata-mata serta subversi, dan ancaman hukumannya adalah hukuman mati dengan cara digantung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com