Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumat Agung dengan Tradisi Mendera Diri di Filipina

Kompas.com - 02/04/2010, 14:24 WIB

SAN FERNANDO, KOMPAS.com — Puluhan orang Filipina berdevosi dengan mencambuki punggung mereka sendiri hingga darah menggalir, sementara yang lain dipaku di salib untuk menandai hari Jumat Agung.

Tindakan ekstrem warga Filipina itu tergolong salah satu kegiatan paling "aneh" dalam dunia Katolik Roma yang dilakukan untuk menandai hari yang dipercayai orang-orang Kristen merupakan hari Yesus Kristus dihukum mati 2.000 tahun lalu. Rommel David dan teman-temannya dari sebuah desa pertanian di San Juan memulai adegan itu dengan mecambuk punggung mereka yang telanjang hingga berdarah di bawah terik matahari dengan selarik bambu tipis.

"Ini untuk keluarga saya sehingga tidak akan ada yang sakit," kata sang dekorator yang berusia 36 tahun dan belum menikah itu. Sepotong kain menutupi kepalanya yang bermahkotakan kawat berduri. David mengatakan, dia telah mencambuk dirinya demi orangtua dan lima saudaranya selama Masa Pra-Paskah dalam tujuh tahun terakhir.

"Ini adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah saya lakukan, tetapi ini saya lakukan untuk Tuhan dan untuk penebusan dosa saya," katanya. Adegan ini diulangi di desa-desa tetangga yang mengelilingi kota San Fernando, sekitar satu jam berkendara di utara Manila.

Menjelang makan siang, anak-anak berlari mengelilingi desa-desa yang terlumur darah para pendosa yang mencambuki punggung mereka. Pejabat setempat mengatakan, sekitar 30.000 turis lokal dan asing diharapkan berkumpul di San Fernando, yang merupakan jantung tradisi perayaan Jumat Agung di Filipina.

Sekitar 10 orang, termasuk Mary-Jane Mamangun yang berusia 34 tahun, telah dipakukan ke salib di bawah terik matahari San Juan, masing-masing menghabiskan beberapa menit yang menyakitkan dalam mengenang kembali penyaliban Yesus Kristus.
Demikian pula seorang wanita dan dua pria dipakukan ke salib pada ritus siang hari di dekat kota Paombong, seorang fotografer AFP menyaksikan peristiwa itu.

Mamangun mengatakan, saat itu ia telah disalibkan untuk ke-14 kalinya secara berturut-turut. Dia percaya bahwa menjalani siksaan itu telah membantu neneknya pulih dari dua kali stroke dan membantu kakaknya mengalahkan kanker. "Nenekku sudah berusia 88 tahun sekarang dan dia masih sehat," kata Mamangun sebelum disalibkan. Mamangun bersikeras sebelum dan sesudah penyaliban bahwa dia tidak merasakan sakit saat paku 5 sentimeter tersebut dipalu melewati tangan dan kakinya.

Namun, wajahnya yang mengernyit saat disalibkan, sebagaimana juga saat ia langsung dibawa ke tenda medis tempat ia berbaring dan diberikan penghilang rasa sakit memberi cerita lain.

Petugas pariwisata San Fernando, Ching Pangilinan, mengatakan, pemerintah lokal melarang orang asing turut serta dalam penyaliban tahun ini setelah beberapa insiden pada masa lalu yang malah menjadikan kegiatan tersebut sebagai bahan olok-olok. Tahun lalu, pelawak Australia, John Safran, memperoleh izin dipaku ke kayu salib setelah ia menyatakan bahwa dirinya seorang mahasiswa Katolik dan ibunya tengah menderita kanker. Hal ini mengakibatkan kemarahan penduduk lokal karena ternyata dia disalibkan untuk pertunjukan komedi televisi di Australia.

"Pada masa lalu, kami mengalami kesulitan dengan orang asing yang turut melakukan hanya untuk bersenang-senang," Pangilinan bercerita kepada AFP.

"Terkadang orang asing memiliki pemahaman yang berbeda mengenai agama dan tradisi budaya. Bagi masyarakat San Fernando, ini adalah sumpah iman bagi mereka. Mendera diri dan orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki membawa salib kayu merupakan pemandangan akrab di banyak daerah di Filipina selama Masa Pra-Paskah, bersamaan dengan praktik-praktik tradisional, seperti mengunjungi gereja dan berpuasa. Tindakan-tindakan ekstrem secara resmi tidak disetujui gereja.

Monsinyur Pedro Quitorio, juru bicara Konferensi Uskup Katolik Filipina, memusatkan perhatian pada keyakinan para pendosa bahwa tindakan penebusan dosa tersebut akan membuat mereka bebas dari penyakit atau nasib buruk sepanjang sisa tahun ini. "Mendera diri adalah suatu bentuk penebusan dosa yang telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Tapi, untuk melakukan ini di luar konteks adalah salah. Hal ini tidak boleh dilakukan sebagai tindakan takhayul," katanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com