JERUSALEM, KOMPAS.com -
”Sebaiknya negara Palestina itu tidak digunakan,” kata anggota parlemen dari Partai Likud, Miri Regev, Kamis (11/6) di Jerusalem.
Regev menegaskan, Obama tak bisa memaksa Israel. ”Tekanan AS itu sering kali hanya psikologis. Jangan lupa, presiden tidak berdiri sendiri. Di belakang presiden masih ada Kongres dan Senat AS yang masih mendukung Israel,” kata Regev.
Sikap Regev itu sama dengan beberapa anggota partai dari sayap kanan itu. Netanyahu belum menerima ide atau konsep negara Palestina dan telah menampik tekanan AS untuk membekukan pembangunan permukiman di Tepi Barat. Meski demikian, Netanyahu berharap dapat mengurangi ketegangan di antara AS-Israel saat ia berpidato di Universitas Bar Ilan di Tel Aviv hari Minggu, 14 Juni.
Namun, PM Netanyahu kini menghadapi situasi sulit. Di satu sisi ia tidak mau membuat marah rekan-rekannya di pemerintahan koalisi tengah-kanan, tetapi di sisi lain Netanyahu sulit menolak AS. Kini persoalannya adalah Pemerintah Israel terbagi dua. Satu kubu menolak ”solusi dua negara” dan kubu lain mendukung, seperti Menteri Pertahanan Ehud Barak yang juga Ketua Partai Buruh.
Pada rencana pidato politiknya, Netanyahu dilaporkan akan menyatakan bersedia menerima solusi dua negara dengan syarat ketat, seperti demiliterisasi negara Palestina.
Presiden Mesir Hosni Mubarak dalam wawancara dengan televisi Mesir dan diberitakan harian
Namun, kata Mubarak, Palestina harus bersatu untuk membantu terwujudnya solusi dua negara itu. Jika Palestina tidak bersatu, tak akan ada perundingan dan perjuangan Palestina akan sia-sia. ”Bila Palestina tidak bersatu, lalu dengan siapa mereka akan berunding,” tanya Mubarak.
Kepala Biro Politik Hamas Khaled Meshaal kepada harian
Menurut Meshaal, negara Palestina yang dapat diterima adalah negara dengan kedaulatan penuh darat, udara, dan laut, bukan hanya otonomi luas atau negara dengan kedaulatan yang tidak penuh. ”Kami akan pantau sejauh mana AS menekan Israel soal solusi isu dua negara dan permukiman Yahudi,” ujarnya.