Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermarkas di Kafe, Sebarkan Informasi Tentang Islam

Kompas.com - 01/08/2008, 15:11 WIB

HAMPIR setiap malam mereka nongkrong di sebuah kafe di Dearborn, Michigan. Tak mengherankan kalau orang yang tidak kenal akan mengira mereka adalah anak muda berusia 20-an tahun yang tidak tahu cara menghabiskan waktu dengan baik.

Tapi jangan salah, mereka adalah 30 pemuda-pemudi Muslim yang berkumpul selama 30 hari untuk melayani masyarakat, bukan sekadar kongkow. Kelompok yang menyebut diri 30/30 ini punya agenda mulia, yaitu membantu para remaja di komunitas mereka menghadapi penyakit sosial seperti ketergantungan pada narkotika dan alkohol. Mereka juga mengajar orang-orang di luar komunitas itu soal keyakinan mereka, Islam.

Dari obrolan sambil minum kopi itu muncullah sejumlah gagasan cemerlang. Di antaranya, membentuk tim pendampingan dan konseling untuk siswa SMA, mengadakan latihan kepemimpinan untuk pemuda, dan merancang brosur yang menjelaskan praktik-praktik dalam ajaran Islam, seperti mengenakan jilbab bagi perempuan.

"Kami punya daftar tujuan ketika kami mulai. Sebagian adalah pendidikan. Sebagian lagi ada lubang yang harus kami isi. Kami mampu untuk itu dan itulah yang kami lakukan sekarang," kata Mariam Zaiat (22), anggota kelompok itu, pekan lalu.

Aktivitas ini memang dirancang khusus untuk para pemuda di komunitas Arab dan Islam terbesar di Amerika Serikat itu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak atau cucu imigran. Mereka berlatih menjadi dokter, pengacara, perawat, pekerja sosial, dan terapis. Misi mereka agaknya berakar dari Pusat Islam Amerika dan aktivitas mereka berafiliasi pada Asosiasi Muslim Muda.
       
Mariam mengatakan, dirinya yakin generasi sebelumnya, ketika tiba di sini, pasti berpikir bahwa ini hanya sementara dan akan pulang sehingga tidak ingin berinvestasi terlalu banyak dalam perkara ini. Tujuan utama mereka, menurut Mariam, adalah bertahan hidup.

"Mereka berpikir, 'Kami butuh pekerjaan, kami tidak bicara bahasa mereka, kami ada di negeri asing'," kata Mariam yang sekarang sedang mengejar gelar master terapi. "Bersama kami, mereka yang lahir dan besar di sini, dan harus ke sekolah, di sinilah tempat kami. Kami tidak pernah berpikir, 'Oh, kami akan pulang'. Jadi inilah salah satu alasan mengapa kami banyak berinvestasi karena hati kami ada di sini," katanya.
        
'Investasi' ini dimulai dari mengatasi persoalan internal seperti penyalahgunaan narkotika, gangguan mental, dan kekerasan domestik. Kegiatan ini kemudian menjadi workshop bagi Jaringan Dukungan Sosial Pemuda Muslim yang akan bekerja sama dengan siswa SMA dan menawarkan forum online serta menyediakan hotline.
       
Ini sebenarnya bukan isu yang lebih besar bagi komunitas Muslim dibanding kelompok lain. Tetapi mengatasi persoalan ini jelas lebih sulit di dalam budaya yang menggunakan rasa malu untuk mencegah perilaku yang tidak bisa diterima. "Ada stigma besar bagi seseorang di komunitas ini ketika menerima bantuan, jadi lebih baik lewat online dengan identitas tersembunyi," kata Latifeh Sabbagh (24) yang memimpin jaringan dukungan dan pekerja sosial di Dearborn Public Schools.
       
"Ketika orang-orang mengungkapkan persoalan, kadang-kadang ada rasa malu atau hina. Jika mereka bisa melakukan dengan identitas tetap dirahasiakan, akan lebih mudah bagi mereka untuk membicarakan persoalan mereka," katanya.

Di kawasan itu sebenarnya banyak ditawarkan program kemanusiaan, namun tidak satu pun yang membidik pemuda dan dipimpin orang yang punya perspektif politik. "Kami tidak menjangkau anak-anak itu. Mereka tidak punya struktur dukungan yang baik," kata Ali Dabaja, mahasiswa kedokteran yang dibesarkan di Dearborn saat dihubungi lewat telepon ke rumahnya di New York.
       
Dabaja adalah pendiri Asosiasi Muslim Muda dan jejaring serta kelompok advokasi Pemuda Muslim Amerika Utara Bersatu. Dialah yang mencetuskan ide 30/30 itu.  "Saya mencoba mendorong kesadaran beraktivitas, kesadaran untuk mengambil tanggung jawab kepada komunitas. Suatu hari saya berpikir, 'Bagaimana kalau kita berkumpul selama 30 hari dan memberikan yang terbaik bagi komunitas," kata Dabaja.
       
Salah satu tujuan program 30/30 ini adalah memproduksi brosur dan menyebarkannya ke masjid-masjid di seluruh AS agar para pengurus masjid itu bersedia menerima orang-orang yang ingin mendapat informasi tentang Islam. Jennifer Berry, salah satu aktivis, mengatakan, gagasan itu menjelaskan mengapa perempuan harus mengenakan jilbab atau mengapa orang Islam harus menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa selama sebulan penuh.
       
Menurut Jennifer, gerakan itu perlu karena Islam sedang mendapat sorotan tajam media. "Kalau media sudah menangkap kesan negatif tentang Islam, maka orang-orang akan berpandangan sama," kata Jennifer yang berharap bisa menyelesaikan studi keperawatannya tahun depan.       
       
Suatu pagi, empat kelompok dari 30/30 ini berkumpul di Caffina Coffee, tempat mereka biasa berkumpul. Tempat itu milik keluarga Dewnya Bakri (21), salah satu anggota 30/30 yang akan memulai kuliah hukum pada September.
       
Dewnya mengatakan, pencerahan pada orang lain juga bisa diberikan lewat percakapan, dan kelompoknya biasa menggunakan kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajaran.

"Kami dianugerahi pendidikan. Kami memahami hambatan kultural dan kami juga tahu bagaimana berhubungan dengan orang non-Muslim, bagaimana berdiskusi dengan mereka dengan cara yang mereka bisa pahami," kata gadis itu.

Bagi Dabaja, misi internal dan eksternal 30/30 pasti berkaitan. "Saya ingin Amerika melihat ada komunitas yang mengenal Tuhan yang tumbuh subur, dan mereka mengatakan, 'Lihat, lihat apa yang dilakukan orang Muslim bagi Amerika'. Kami ingin mengubah lingkungan sekitar dan orang-orang akan memprhatikan," kata Dabaja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com